Menyesap Manis Magis Yogyakarta
Tak sekadar menjadi Kota Gudeg yang lekat dengan rasa manis, Yogyakarta juga menyajikan beragam manis lainnya. Sejumlah orang mungkin tak setuju pada manisnya Yogyakarta. Alih-alih “manis”, mereka justru merasa Yogyakarta menjadi kotak penyimpanan kenangan buruk. Tapi, tidak sedikit pula yang mengamini manis dan hangatnya pelukan kota berjuta mahasiswa tersebut.
Hampir di setiap sudut, Yogyakarta menyediakan ruang untuk mengelaborasi kejadian yang konon kondusif bagi para penikmat puisi, kopi, dan indie. Tidak hanya itu, Yogyakarta menggelar begitu banyak kegiatan komunitas sekaligus menjelma bidan yang pas bagi kelahiran perusahaan perintis (startup). Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) bersama Indonesia Digital Creative Industry Society mencatat terdapat 54 startup lahir di Yogyakarta, termasuk di dalamnya Mamikos, Jakpat, dan Ruangkerja.
Meskipun lalu lalang wilayah ber-plat AB ini mulai banyak dibanjiri kendaraan pendatang, Yogyakarta masih tampil sebagai wilayah yang teguh dengan kharismanya. Kemacetan kini mudah dijumpai, namun sisi humanisnya tetap lekat. Kata orang-orang “tidak seperti dahulu”, namun bisa dipahami bahwa perubahan adalah pasti dan perlu diterima, sambil bersama-sama memelihara Yogyakarta tetap pada kelembutan dan kharismanya.
Yogyakarta manis. Lebih dari manis, Yogyakarta berpredikat magis bagi orang-orang yang kerap menginginkan kembali ke kota ini tanpa alasan jelas. Untuk menyesap manis dan magisnya Yogyakarta, berbagai ikon tersuguh apik. Mulai dari Tugu Pal Putih Yogyakarta, jalan Malioboro beserta puluhan delman yang beriringan, alun-alun yang lengkap dengan mitos pohon beringin kembar, hingga kampus tertua milik tanah air Universitas Gadjah Mada.
Menyesap manis dan magisnya Yogyakarta, ragam kuliner tidak lagi diragukan keberadaannya. Mulai yang terpampang nyata sepanjang jalan hingga kuliner ndelik yang bisa dijumpai melalui serangkaian pengorbanan, dari puluhan, ada contoh Lele Mangut Mbah Marto, suguhan lele lengkap dengan kuah santan pedas yang dimasak menggunakan wajan besar di atas tungku. Sajian lele tersebut begitu legendaris dan sayang terlewatkan. Lidah siapa yang belum termanjakan ketika berkunjung ke Yogyakarta, semoga terkena magisnya, kelak kembali di lain hari.
Yogyakarta magis, membuat setiapnya merapal mantra-mantra takjub akan kehumanisannya. Rasa tak ingin kembali ke kota asal tak jarang dijumpai, hingga ingin tinggal saja di Yogyakarta. Namun, ah, tak sedikit dari mereka yang lama menetap berkata “Jogja, ditinggal ngangeni, ditunggoni ra sugih-sugih.” Magis, bukan?