Ribut-ribut di Semangkuk Pikiran
Sore itu, si perempuan memandangi cermin. Pandangannya kosong, pikirannya seperti buku catatan berjalan yang merangkum puluhan pertanyaan setiap menitnya. Paling atas, pertanyaannya adalah “Apakah benar?”. Ya, tentang terik dan ribuan kilometer jalan yang telah ia tempuh — bersama mata dan hatinya. Giliran pertanyaan berikutnya, ia tak dapat mengeremnya. Angin yang masuk melalui jendela kamarnya berlomba mendesau sambil mengantar tanya “Apakah masih sanggup?” Ke langit yang hampir maghrib.
Jelang malam, layar telpon genggamnya agak lebih terang sejak tadi sore, “Kalau masih bisa paham, lanjutkan saja,” kata seseorang di pulau seberang sana. Si perempuan tak bergeming, menyembunyikan telpon genggamnya, beranjak, berdiri kembali beradu pandang dengan cermin. Tapi — tatapannya tetap kosong. Lalu keributan di dalam semangkuk pikiran kian menjadi. Semakin menyesakkan.